Dalam mengungkap misteri sejarah Pulau
Paskah (Easter Island), jauh sebelum bangsa Eropa tiba pada tahun 1722,
dimana budaya Polinesia asli atau lebih dikenal sebagai Rapa Nui menunjukkan
tanda-tanda penurunan demografi. Dalam fakta membuktikan kebenaran ini,
sejarawan telah lama diperdebatkan, apakah degradasi lingkungan yang menjadi
penyebabnya atau mungkin sebuah revolusi politik, bahkan tidak terkecuali wabah
penyakit.
Baru-baru ini, sebuah studi yang dikerjakan
sekelompok ilmuwan internasional termasuk UC Santa Barbara Oliver Chadwick,
para ilmuwan menjelaskan analisa yang berbeda dan membantu untuk memperjelas
kerangka kronologis. Ilmuwa berharap menemukan adanya perubahan bertepatan
dengan kedatangan orang Eropa, tapi dalam analisa justru membuktikan sebaliknya
bahwa runtuhnyabudaya Rapa Nui telah dimulai jauh sebelum waktu
itu. Hasil temuan ini diterbitkan dalam jurnal Prosiding National Academy of
Sciences edisi akhir January 2015.
Kepunahan
Budaya Pulau Paskah, Rapa Nui
Wilayah yang dianalisa menggambarkan keragaman
lingkungan pulau Paskah seluas 63 mil persegi yang terletak
hampir 2300 mil dari pantai barat Chili. Unsur hara tanah di Pulau Paskah lebih
sedikit daripada Kepulauan Hawaii muda, pulau yang juga dihuni orang-orang
Polinesia diwaktu yang sama tahun 1200 M.
Menurut Chadwick, seorang profesor di Departemen UC
Santa Barbara, dalam menanggapi perdebatan tentang Pulau Paskah dimana
sejarawan lain mengatakan bahwa Rapa Nui menciptakan kehancuran lingkungan yang
berakibat membunuh bangsanya sendiri. Pendapat lain lain mengatakan, tidak ada
hubungannya dengan perilaku budaya dan hal itu disebabkan oleh orang Eropa yang
membawa penyakit ke pulau Rapa Nui. Dan dalam penelitian ini menjelaskan bahwa
ada kemungkinan kedua pendapat telah terjadi bersamaan atau silih berganti.
Chadwick dibantu arkeolog Christopher Stevenson,
Cedric Puleston dan Thegn Ladefoged, mereka memeriksa enam lokasi pertanian
yang diduga pernah digunakan oleh penduduk di pulau itu. Mereka memfokuskan
pada tiga situs yang berisi informasi mengenai iklim, kimia tanah, dan
penggunaan lahan yang ditentukan melalui analisis serpihan obsidian. Tim
ilmuwan menggunakan serpihan obsidian atau kaca alami sebagai alat untuk
menentukan usia, kemudian mengukur jumlah air yang menembus permukaan obsidian
sehingga memungkinkan untuk mengukur berapa lama telah terbuka dan untuk
menentukan umurnya.
Salah satu situs pertama yang dianalisis berdekatan
dengan pantai laut, terkubur dibawah bayang-bayang hujan gunung berapi dengan
curah hujan yang rendah dan ketersediaan unsur hara tanah relatif tinggi.
Lokasi penelitian kedua berada disisi interior gunung berapi, wilayah ini
mengalami curah hujan yang tinggi tetapi memiliki pasokan nutrisi yang rendah.
Lokasi ketiga berada didekat pantai timur laut, daerah ini ditandai dengan volume
curah hujan dan nutrisi tanah yang relatif tinggi.
Menurut Chadwick, ketika sejarawan mengevaluasi
waktu mereka menemukan bahwa tanah itu digunakan berdasarkan distribusi usia
serpihan obsidian masing-masing situs. Wilayah ini menjadi dasar indeks dari
tempat tinggal manusia, daerah sangat kering dan daerah sangat basah yang
ditinggalkan sebelum ekspedisi orang Eropa. Daerah yang memiliki nutrisi
relatif tinggi dan curah hujan menengah telah mempertahankan populasi setelah
kontak Eropa.
Dalam studi ini menunjukkan bahwa orang-orang Rapa Nui di pulau Paskah bereaksi
terhadap variasi regional dan hambatan lingkungan alami untuk memproduksi
tanaman daripada menghancurkan lingkungan sendiri. Melalui tanaman kaya
nutrisi, mereka bisa menghasilkan makanan dengan baik, mampu mempertahankan
budaya yang layak bahkan di bawah ancaman faktor eksternal termasuk penyakit
orang Eropa seperti cacar, sifilis dan TBC.
Salah satu alasan mundurnya daerah marginal
menunjukkan bahwa orang-orang Rapa Nui tidak bisa terus mempertahankan sumber
makanan yang diperlukan untuk membuat patung besar Jadi, saat ini sejarawan
melihat sisi cerita hilangnya penduduk pulau Paskah yang disebabkan faktor
alam, sehingga secara tak langsung mempertimbangkan kembali hipotesis
sebelumnya tentang adanya kekerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar