HIV
adalah suatu virus yang dapat menyebabkan penyakit AIDS. Virus ini menyerang manusia dan
menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam
melawan infeksi. Tanpa pengobatan, seorang dengan HIV bisa bertahan hidup
selama 9-11 tahun setelah terinfeksi, tergantung tipenya. Dengan kata lain,
kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan defisiensi (kekurangan) sistem
imun. Penyaluran virus HIV bisa
melalui penyaluran Semen (reproduksi), Darah, cairan vagina,
dan ASI. HIV bekerja dengan membunuh sel-sel penting yang dibutuhkan oleh
manusia, salah satunya adalah Sel T
pembantu, Makrofaga, Sel
dendritik.
Ini menyebabkan penurunan pada angka CD4 Sel T.
Di tahun 2014, the Joint United Nation Program on
HIV/AIDS (UNAIDS) memberikan rapor merah kepada Indonesia sehubungan
penanggulangan HIV/AIDS. Pasien baru meningkat 47 persen sejak 2005. Kematian
akibat AIDS di Indonesia masih tinggi, karena hanya 8 persen Orang Dengan HIV
AIDS (ODHA) yang mendapatkan pengobatan obat antiretroviral (ARV).
Sejarah
Pada tahun 1983, Jean Claude Chermann dan Françoise Barré-Sinoussi dari Perancis berhasil
mengisolasi HIV untuk pertama kalinya dari seorang penderita sindrom limfadenopati. Pada
awalnya, virus itu disebut ALV (lymphadenopathy-associated virus) Bersama
dengan Luc Montagnier, mereka membuktikan bahwa virus
tersebut merupakan penyebab AIDS. Pada awal tahun 1984,Robert Gallo dari Amerika
Serikat juga meneliti tentang virus penyebab AIDS yang disebut
HTLV-III. Setelah diteliti lebih lanjut, terbukti bahwa ALV dan HTLV-III
merupakan virus yang sama dan pada tahun 1986, istilah yang digunakan untuk
menyebut virus tersebut adalah HIV, atau lebih spesifik lagi disebut HIV-1.
Tidak lama setelah HIV-1 ditemukan, suatu subtipe
baru ditemukan di Portugal dari pasien yang berasal dari Afrika Barat dan
kemudian disebut HIV-2. Melalui kloning dan analisis sekuens (susunan
genetik), HIV-2 memiliki perbedaan sebesar 55% dari HIV-1 dan secara antigenik
berbeda. Perbedaan terbesar lainnya antara kedua strain (galur) virus
tersebut terletak pada glikoprotein selubung. Penelitian lanjutan
memperkirakan bahwa HIV-2 berasal dari SIV (retrovirus yang menginfeksi primata)
karena adanya kemiripan sekuens dan reaksi silang antara antibodi terhadap
kedua jenis virus tersebut.
Klasifikasi
Pohon kekerabatan (filogenetik) yang menunjukkan kedekatan SIV dan HIV. |
Kedua spesies HIV yang menginfeksi manusia (HIV-1
dan -2) pada mulanya berasal dari Afrika barat dan tengah, berpindah dari primata ke
manusia dalam sebuah proses yang dikenal sebagai zoonosis.
HIV-1 merupakan hasil evolusi dari simian immunodeficiency virus (SIVcpz)
yang ditemukan dalam subspesies simpanse, Pan
troglodyte troglodyte. Sedangkan, HIV-2 merupakan spesies virus hasil
evolusi strain SIV yang berbeda (SIVsmm), ditemukan pada Sooty
mangabey, monyet dunia lama Guinea-Bissau.
Sebagian besar infeksi HIV di dunia disebabkan oleh HIV-1 karena spesies virus
ini lebih virulen dan lebih mudah menular dibandingkan HIV-2. Sedangkan, HIV-2
kebanyakan masih terkurung di Afrika barat.
Berdasarkan susunan genetiknya, HIV-1 dibagi
menjadi tiga kelompok utama, yaitu M, N, dan O. Kelompok HIV-1 M terdiri dari
16 subtipe yang berbeda. Sementara pada kelompok N dan O belum diketahui
secara jelas jumlah subtipe virus yang tergabung di dalamnya. Namun, kedua
kelompok tersebut memiliki kekerabatan dengan SIV dari simpanse. HIV-2 memiliki
8 jenis subtipe yang diduga berasal dari Sooty
mangabey yang berbeda-beda.
Apabila beberapa virus HIV dengan subtipe yang
berbeda menginfeksi satu individu yang sama, maka akan terjadi bentuk
rekombinan sirkulasi (circulating recombinant forms -
CRF) (bahasa Inggris: circulating
recombinant form, CRF). Bagian
dari genom beberapa subtipe HIV yang berbeda akan bergabung dan membentuk satu
genom utuh yang baru. Bentuk rekombinan yang pertama kali ditemukan adalah
rekombinan AG dari Afrika tengah dan barat, kemudian rekombinan AGI dari Yunani dan Siprus,
kemudian rekombinan AB dari Rusia dan AE dari Asia tenggara. Dari seluruh infeksi HIV yang terjadi
di dunia, sebanyak 47% kasus disebabkan oleh subtipe C, 27% berupa CRF02_AG,
12,3% berupa subtipe B, 5.3% adalah subtipe D dan 3.2% merupakan CRF AE,
sedangkan sisanya berasal dari subtipe dan CRF lain.
Struktur dan Materi Genetik
HIV memiliki diameter 100-150 nm dan berbentuk
sferis (spherical) hingga oval karena bentuk selubung yang menyelimuti
partikel virus (virion). Selubung virus berasal dari membran sel inang yang
sebagian besar tersusun dari lipida. Di dalam selubung terdapat bagian yang
disebut protein matriks.
Bagian internal dari HIV terdiri dari dua komponen
utama, yaitu genom dan kapsid. Genom adalah materi genetik pada bagian
inti virus yang berupa dua kopi utas tunggal RNA. Sedangkan, kapsid adalah
protein yang membungkus dan melindungi genom.
Berbeda dengan sebagian besar retrovirus yang hanya
memiliki tiga gen (gag, pol, dan env), HIV
memiliki enam gen tambahan (vif, vpu, vpr, tat, ref, dan nef). Gen-gen
tersebut disandikan oleh RNA virus yang berukuran 9 kb. Kesembilan gen
tersebut dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan fungsinya, yaitu gen
penyandi protein struktural (Gag, Pol, Env), protein regulator (Tat, Rev), dan
gen aksesoris (Vpu hanya pada HIV-1, Vpx hanya pada HIV-2; Vpr, Vif, Nef).
Nama Gen dan Protein yang disandikan
|
Ukuran
|
Lokalisasi
|
Fungsi
|
Tat (trans-aktivator transkripsi)
|
86 asam amino (AA), 2 ekson, 14 kDalton
|
nukleus, nukleolus, protein awal
|
Penting untuk replikasi; Trans-aktivasi ekspresi
mRNA virus, mengatur ekspresi sitokin dan reseptor.
|
Rev (regulator ekspresi protein virus)
|
116 AA, 2 ekson, 19 kDalton
|
nukleus, di antara sitoplasma dannukleolus
|
Penting untuk replikasi; mengatur transkripsi dan ekspresi
protein Gag, Pol, Env, Vif, Vpu, dan Vpr.
|
Vif (faktor infektivitas virus)
|
192 AA, 23 kDalton
|
sitoplasma, beberapa molekul yang
terbungkus dalam virion dewasa
|
Penting untuk infektivitas dan replikasi pada
sel primer; berperan dalam tahap awal replikasi HIV
|
Vpr (Protein R virus)
|
96-106 AA, 10-15 kDalton
|
komponen dari inti virus dan kompleks membran
|
Mediasi replikasi di sel yang tidak membelah
|
Vpx (Protein X virus)
|
112 AA, 12-16 kDalton
|
komponen virion
|
Berfungsi seperti Vpr
|
Vpu (Protein U virus)
|
81 AA (terfosforilasi), 9,2 & 16 kDalton
|
retikulum endoplasma, protein
transmembran
|
Degradasi CD4; meningkatkan pelepasan HIV;
pembentukan membran protein integral; regulasi ekpresi permukaan sel
terhadap MHC I
|
Nef (Faktor Negatif)
|
206 AA, 27 kDalton
|
virion, sitoplasma, nukleus
|
Meningkatkan produksi HIV di tahap akhir;
mengatur ekspresi MHC I dan CD4
|
Struktur HIV
Seperti virus lain pada umumnya, HIV hanya dapat
bereplikasi dengan memanfaatkan sel inang. Siklus hidup HIV diawali dengan
penempelan partikel virus (virion) dengan reseptor pada permukaan sel inang, di
antaranya adalah CD4, CXCR5, dan CXCR5. Sel-sel yang menjadi target HIV
adalah sel dendritik, sel T, danmakrofaga. Sel-sel
tersebut terdapat pada permukaan lapisan kulit dalam (mukosa) penis, vagina, danoral yang biasanya
menjadi tempat awal infeksi HIV. Selain itu, HIV juga dapat langsung masuk
ke aliran darah dan masuk serta bereplikasi di noda limpa.
Setelah menempel, selubung virus akan melebur
(fusi) dengan membran sel sehingga isi partikel virus akan terlepas di dalam
sel. Selanjutnya, enzim transkriptase balik yang dimiliki HIV akan
mengubah genom virus yang berupa RNA menjadi DNA. Kemudian, DNA virus akan
dibawa ke inti sel manusia sehingga dapat menyisip atau terintegrasi dengan DNA
manusia. DNA virus yang menyisip di DNA manusia disebut sebagai provirus dan
dapat bertahan cukup lama di dalam sel. Saat sel teraktivasi, enzim-enzim
tertentu yang dimiliki sel inang akan memproses provirus sama dengan DNA manusia, yaitu
diubah menjadi mRNA. Kemudian, mRNA akan dibawa keluar dari inti sel dan menjadi cetakan
untuk membuat protein dan enzim HIV. Sebagian RNA dari provirus yang merupakan
genom RNA virus. Bagian genom RNA tersebut akan dirakit dengan protein dan
enzim hingga menjadi virus utuh. Pada tahap perakitan ini, enzim proteasevirus
berperan penting untuk memotong protein panjang
menjadi bagian pendek yang menyusun inti virus. Apabila HIV utuh telah matang,
maka virus tersebut dapat keluar dari sel inang dan menginfeksi sel berikutnya.
Proses pengeluaran virus tersebut melalui pertunasan (budding), di mana virus
akan mendapatkan selubung dari membran
permukaan sel inang.
Deteksi HIV
Seorang wanita sedang menggunakan alat tes HIV |
Umumnya, ada tiga tipe deteksi HIV, yaitu tes PCR,
tes antibodi HIV, dan tes antigen HIV. Tes reaksi berantai polimerase (PCR)merupakan
teknik deteksi berbasis asam nukleat (DNA dan RNA) yang dapat mendeteksi
keberadaan materi genetik HIV di dalam tubuh manusia. Tes ini sering pula
dikenal sebagai tes beban virus atau tes amplifikasi asam nukleat (HIV NAAT). PCR
DNA biasa merupakan metode kualitatif yang hanya bisa mendeteksi ada atau
tidaknya DNA virus. Sedangkan, untuk deteksi RNA virus dapat dilakukan
dengan metode real-time PCR yang merupakan metode kuantitatif. Deteksi
asam nukleat ini dapat mendeteksi keberadaan HIV pada 11-16 hari sejak awal
infeksi terjadi. Tes ini biasanya digunakan untuk mendeteksi HIV pada bayi yang
baru lahir, namun jarang digunakan pada individu dewasa karena biaya tes PCR
yang mahal dan tingkat kesulitan mengelola dan menafsirkan hasil tes ini lebih
tinggi bila dibandingkan tes lainnya.
Untuk mendeteksi HIV pada orang dewasa, lebih
sering digunakan tes antibodi HIV yang murah dan akurat. Seseorang yang
terinfeksi HIV akan menghasilkan antibodi untuk melawan infeksi tersebut. Tes
antibodi HIV akan mendeteksi antibodi yang terbentuk di darah, saliva (liur),
dan urin. Sejak tahun 2002, telah dikembangkan suatu penguji cepat (rapid
test) untuk mendeteksi antibodi HIV dari tetesan darah ataupun sampel liur
(saliva) manusia. Sampel dari tubuh pasien tersebut akan dicampur dengan
larutan tertentu. Kemudian, kepingan alat uji (test strip) dimasukkan
dan apabila menunjukkan hasil positif maka akan muncul dua pita berwarna ungu
kemerahan. Tingkat akurasi dari alat uji ini mencapai 99.6%, namun semua hasil
positif harus dikonfirmasi kembali dengan ELISA. Selain ELISA, tes
antibodi HIV lain yang dapat digunakan untuk pemeriksaan lanjut adalah Western blot.
Tes antigen dapat mendeteksi antigen (protein P24)
pada HIV yang memicu respon antibodi. Pada tahap awal infeksi HIV, P24
diproduksi dalam jumlah tinggi dan dapat ditemukan dalam serum darah. Tes
antibodi dan tes antigen digunakan secara berkesinambungan untuk memberikan
hasil deteksi yang lebih akurat dan lebih awal. Tes ini jarang digunakan
sendiri karena sensitivitasnya yang rendah dan hanya bisa bekerja sebelum
antibodi terhadap HIV terbentuk.
Penularan dan Pencegahan
HIV dapat ditularkan melalui injeksi langsung ke
aliran darah, serta kontak membran
mukosa atau jaringan yang
terlukan dengan cairan tubuh tertentu yang berasal dari penderita HIV. Cairan
tertentu itu meliputi darah, semen, sekresi
vagina, dan ASI. Beberapa jalur penularan HIV yang
telah diketahui adalah melalui hubungan seksual, dari ibu ke anak (perinatal),
penggunaan obat-obatan intravena, transfusi dan transplantasi,
serta paparan pekerjaan.
Hubungan seksual
Menurut data WHO, pada tahun
1983-1995, sebanyak 70-80% penularan HIV dilakukan melalui hubungan
heteroseksual, sedangkan 5-10% terjadi melalui hubungan homoseksual. Kontak
seksual melalui vagina dan anal memiliki resiko yang lebih besar untuk
menularkan HIV dibandingkan dengan kontak seks secara oral. Beberapa faktor lain yang dapat
meningkatkan resiko penularan melalui hubungan seksual adalah kehadiran penyakit menular seksual, kuantitas
beban virus, penggunaan douche. Seseorang
yang menderita penyakit menular seksual lain
(contohnya: sifilis, herpes
genitali, kencing
nanah, dsb.) akan lebih mudah menerima dan menularkan HIV kepada orang lain
yang berhubungan seksual dengannya. Beban virus merupakan jumlah virus aktif
yang ada di dalam tubuh. Penularah HIV tertinggi terjadi selama masa awal dan
akhir infeksi HIV karena beban virus paling tinggi pada waku tersebut. Pada rentan waktu tersebut, beberapa
orang hanya menimbulkan sedikit gejala atau bahkan tidak sama sekali. Penggunaan
douche dapat meningkatkan resiko penularan HIV karena menghancurkan bakteri baik di sekitar vagina dan anus yang
memiliki fungsi proteksi. Selain itu, penggunaan douche setelah berhubungan
seksual dapat menekan bakteri penyebab penyakit masuk ke dalam tubuh dan
mengakibatkan infeksi.
Pencegahan HIV melalui hubungan seksual dapat
dilakukan dengan tidak berganti-ganti pasangan dan menggunakan kondom. Cara pencegahan lainnya adalah dengan
melakukan hubungan seks tanpa menimbulkan paparan cairan tubuh. Untuk menurunkan beban virus di dalam
saluran kelamin dan darah, dapat digunakan terapi anti-retroviral.
Ibu ke anak (transmisi perinatal)
Penularan HIV dari ibu ke anak dapat terjadi
melalui infeksi in utero,
saat proses persalinan, dan melalui pemberian ASI. Beberapa faktor maternal dan
eksternal lainnya dapat mempengaruhi transmisi HIV ke bayi, di antaranya
banyaknya virus dan sel imun pada trisemester pertama, kelahiran prematur, dan
lain-lain. Penurunan sel imun (CD4+) pada ibu dan tingginya RNA virus dapat
meningkatkan resiko penularan HIV dari ibu ke anak. Selain itu, sebuah studi
pada wanita hamil di Malawi dan AS juga menyebutkan bahwa kekurangan vitamin A
dapat meningkatkan risiko infeksi HIV. Risiko penularan perinatal dapat
dilakukan dengan persalinan secara caesar, tidak memberikan ASI, dan pemberian AZT
pada masa akhir kehamilan dan setelah kelahiran bayi. Di sebagian negara berkembang,
pencegahan pemberian ASI dari penderita HIV/AIDS kepada bayi menghadapi
kesulitan karena harga susu formula sebagai pengganti relatif mahal. Selain
itu, para ibu juga harus memiliki akses ke air bersih dan memahami cara
mempersiapan susu formula yang tepat.
Lain-lain
Cara efektif lain untuk penyebaran virus ini adalah
melalui penggunaan jarum atau alat suntik yang terkontaminasi, terutama di
negara-negara yang kesulitan dalam sterilisasi alat kesehatan. Bagi pengguna obat intravena (dimasukkan
melalui pembuluh
darah), HIV dapat dicegah dengan menggunakan jarum dan alat suntik yang
bersih. Penularan HIV melalui transplantasi dan transfusi hanya menjadi penyebab sebagian kecil
kasus HIV di dunia (3-5%). Hal
ini pun dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan produk darah dan transplan
sebelum didonorkan dan menghindari donor yang memiliki resiko tinggi terinfeksi
HIV.
Penularan dari pasien ke petugas kesehatan yang
merawatnya juga sangat jarang terjadi (< 0.0001% dari keseluruhan kasus di
dunia). Hal ini dicegah dengan
memeberikan pengajaran atau edukasi kepada petugas kesehatan, pemakaian pakaian
pelindung, sarung
tangan, dan pembuangan alat dan bahan yang telah terkontaminasi sesuai
dengan prosedur. Pada tahun 2005, sempat diusulkan untuk melakukan sunat dalam rangka pencegahan HIV. Namun
menurut WHO, tindakan pencegahan tersebut masih terlalu awal untuk
direkomendasikan.
Ada beberapa jalur penularan yang ditakutkan dapat
menyebarkan HIV, yaitu melalui ludah, gigitan nyamuk, dan kontak
sehari-hari (berjabat tangan, terekspos batuk dan bersin dari penderita HIV,
menggunakan toilet dan alat makan bersama, berpelukan). Namun,
CDC (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit) menyatakan bahwa aktivitas
tersebut tidak mengakibatkan penularan HIV. Beberapa aktivitas lain yang sangat
jarang menyebabkan penularan HIV adalah melalui gigitan manusia dan beberapa
tipe ciuman tertentu.
Sub-Sahara Afrika tetap merupakan daerah yang
paling parah terkena HIV di antara kaum perempuan hamil pada usia 15-24 tahun
di sejumlah negara di sana. Ini diduga disebabkan oleh banyaknya penyakit
kelamin, praktik menoreh tubuh, transfusi
darah, dan buruknya tingkat kesehatan dan gizi di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar